Ada
sebuah kisah tentang pemuda yang ingin membuktikan adanya Tuhan. Kisah
ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kisah yang bagus dalam
membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, bagaimanakah sebenarnya pandangan
syariat terhadap kisah tersebut? Mari kita simak.
“PEMUDA YANG INGIN MEMBUKTIKAN ADANYA TUHAN”
Ada seorang pemuda yang lama menjalani pendidikan di luar
negeri namun tidak pernah belajar agama Islam, kini kembali ke tanah
air. Sesampainya di rumah ia diminta kedua orang tuanya untuk belajar
agama Islam, namun ia memberi syarat agar dicarikan guru agama yang bisa
menjawab tiga pertanyaan yang selama ini mengganjal di hatinya.
Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kyai
dari pinggiran kota.
Pemuda
|
: Anda siapa dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?“
|
Kyai
|
: Saya hamba Alloh dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.“
|
Pemuda
|
: Anda yakin? Sedangkan profesor di Amerika dan banyak orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
|
Kyai
|
: Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
|
Pemuda
|
: Saya ada tiga pertanyaan :
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya!
2. Kalau memang benar ada takdir, tunjukkan takdir itu pada saya!
3. Kalau syaithan diciptakan dari api, kenapa
dimasukkan ke neraka yang dibuat dari api? Tentu tidak menyakitkan buat
syaithan sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak
pernah berfikir sejauh itu?
|
Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.
|
|
Pemuda
|
: (sambil menahan sakit) Hei! Kenapa Anda marah kepada saya?
|
Kyai
|
: Saya tidak marah. Tamparan itu adalah jawaban saya atas tiga pertanyaan yang Anda ajukan kepada saya.
|
Pemuda
|
: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
|
Kyai
|
: Bagaimana rasanya tamparan saya?
|
Pemuda
|
: Tentu saja saya merasakan sakit.
|
Kyai
|
: Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
|
Pemuda
|
: Ya!
|
Kyai
|
: Tunjukan pada saya wujud sakit itu!
|
Pemuda
|
: Saya tidak bisa.
|
Kyai
|
: Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
|
Kyai
|
: Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
|
Pemuda
|
: Tidak
|
Kyai
|
: Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?
|
Pemuda
|
: Tidak.
|
Kyai
|
: Itulah yang dinamakan takdir. Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
|
Pemuda
|
: Kulit.
|
Kyai
|
: Terbuat dari apa pipi anda?
|
Pemuda
|
: Kulit.
|
Kyai
|
: Bagaimana rasanya tamparan saya?
|
Pemuda
|
: Sakit.
|
Kyai
|
: Walaupun syaithan dijadikan dari api dan neraka juga
terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat
yang menyakitkan untuk syaitan. Semoga kita bukan termasuk orang-orang
yang ditempatkan bersama syaithan di neraka.
|
Pemuda itu langsung tertunduk dan memeluk kyai tersebut sambil memohonnya untuk mengajarkan Islam lebih banyak lagi.
************
Beberapa catatan untuk kisah di atas :
1.
1.
Kisah tersebut tidak jelas apakah merupakan kisah
nyata atau fiksi. Kisah-kisah dalam Al Qur’an, Al Hadits, dan kisah
para ulama yang betul-betul terjadi sebenarnya sudah mencukupkan kita
dari membuat kisah-kisah sendiri. Di zaman dahulu banyak
orang-orang yg senang membuat cerita-cerita palsu (yang disebut dengan
Al Qashshash) dan menyebarkannya dalam ceramah-ceramah mereka dengan
tujuan mendekatkan orang-orang kepada agama. Mereka tidak sadar bahwa
secara tidak langsung mereka telah menjauhkan orang-orang dari agama.
Sebab dengan itu, orang-orang akan lebih suka dengan cerita-cerita
buatan tukang cerita itu daripada cerita yang ada dalam Al Qur’an, Al
Hadits, dan kisah nyata para ulama. Para Salaf mencela orang-orang yang
seperti itu.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah pernah ditanya :
Fadhilatusy Syaikh, apa pendapat Anda tentang masalah
menulis kisah-kisah fiktif dengan tujuan memberikan nasehat dan
bimbingan? Apakah hal itu termasuk ke dalam hukum “membuat permisalan”?
Jawaban :
Berdusta itu tidak diperbolehkan. Memberikan nasehat dan
bimbingan tidak boleh dilakukan dengan cara berdusta, tetapi dengan
perkara yang nyata. Kisah umat-umat terdahulu yang diceritakan oleh
Alloh sebenarnya sudah cukup, padanya terdapat pelajaran dan bimbingan.
Na’am. (1)
2. 2. Taruhlah bahwa kisah itu adalah kisah nyata, tetapi perbuatan Pak Kyai menampar pipi pemuda itu sebenarnya telah melanggar perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
“Jika salah seorang di antara kalian berperang, hendaknya dia menjauhi wajah.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah). Dalam riwayat lain :
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَّقِ الْوَجْهَ
“Jika salah seorang di antara kalian hendak memukul, hendaknya dia menjauhi wajah.”
Dari Aisyah radhiallahu anha, beliau berkata:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا
خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul seorangpun dengan tangan beliau, tidak itu istri beliau, tidak pula pelayan beliau, kecuali saat berjihad di jalan Alloh.” (HR. Muslim no. 2328)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul seorangpun dengan tangan beliau, tidak itu istri beliau, tidak pula pelayan beliau, kecuali saat berjihad di jalan Alloh.” (HR. Muslim no. 2328)
Walaupun kyai itu memukul wajah dengan tujuan
dakwah, tetapi berdakwah hendaknya bukan dengan cara melanggar syariat.
Banyak metode dakwah yg lebih baik dari itu yang telah diajarkan dalam
syariat ini. Cara dakwah kyai itu tidak sesuai dengan urutan metode dakwah yg telah digariskan oleh Alloh ta’ala :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang terbaik.” (An Nahl : 125).
Dakwah dengan hikmah diperuntukkan bagi orang yang belum
mengetahui kebenaran, yang mana setelah dia diberi tahu, dia akan
mengikuti kebenaran itu. Dakwah dengan mau’idhah hasanah (pelajaran
yang baik) diperuntukkan bagi orang yg sering bergelimang dengan
kemaksiatan padahal sudah tahu bahwa yg dia lakukan itu dosa. Orang
seperti ini didakwahi dengan diberi ancaman dari Al Qur’an atau hadits
tentang neraka dan hukuman bagi yang bermaksiat. Dakwah dengan berdebat
diperuntukkan bagi orang yg sudah tahu dalil, tapi dia lebih mengikuti
hawa nafsunya sehingga meninggalkan dalil itu. Metode debat ini juga
diperuntukkan bagi orang kafir.
Hendaknya Pak Kyai itu berdakwah dengan hikmah terlebih
dahulu kepada pemuda itu. Memang sikap keras dalam dakwah kadang
dibutuhkan, tapi bukan diperuntukkan bagi orang yg ingin mencari
kebenaran seperti pemuda itu. Lagipula sikap keras dalam dakwah juga
bukan dengan cara melanggar syari’at, seperti memukul wajah.
3.
3. Pertanyaan pemuda itu sebenarnya bisa dijawab dengan dalil.
3. Pertanyaan pemuda itu sebenarnya bisa dijawab dengan dalil.
Pertanyaan pertama : Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya!
Sebelum menanggapi pernyataan ini perlu diketahui bahwa
kalimat seperti ini pernah dilontarkan oleh Bani Isra’il yang kafir
kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, sebagaimana Alloh ceritakan dalam Al
Qur’an :
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika kalian
(Bani Isra’il) berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu
sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Karena itu kalian disambar
halilintar, sedang kalian menyaksikannya”. (Al Baqarah : 55).
Pernyataan itu muncul dari orang yang tidak percaya atau
ragu akan adanya Alloh. Orang yang tidak percaya akan adanya Alloh,
maka dia kafir. Adapun orang yang ragu tentang adanya Alloh, maka
terbagi menjadi dua sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Hal ini
karena keraguan tentang adanya adanya Alloh ada dua jenis :
1. Keraguan yang sekedar was-was dari syaithan, namun keimanan tetap ada di dalam hati.
Seorang muslim yang memiliki keraguan seperti ini tidaklah kafir,
sebagaimana yang dahulu pernah dialami oleh beberapa orang shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah datang sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
جَاءَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَسَأَلُوْهُ : إِنَّا نَجِدُ فِيْ أَنْفُسِنَا مَا يَتَعَاظَمُ
أَحَدُنَا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ. قَالَ: وَقَدَ وَجَدْتُمُوْهُ؟ قَالُوْا:
نَعَمْ، قَالَ: “ذَاكَ صَرِيْحُ الْإِيْمَانِ“.
“
“Beberapa orang dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya kami mendapati pada diri kami sesuatu yang terasa berat untuk diceritakan oleh salah seorang di antara kami.” Beliau berkata, “Sungguh kalian telah mendapatinya?” Mereka menjawab,”Ya.” Beliau berkata,”Itu adalah keimanan yang jelas.” “
“Beberapa orang dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya kami mendapati pada diri kami sesuatu yang terasa berat untuk diceritakan oleh salah seorang di antara kami.” Beliau berkata, “Sungguh kalian telah mendapatinya?” Mereka menjawab,”Ya.” Beliau berkata,”Itu adalah keimanan yang jelas.” “
Yang wajib dilakukan dalam keadaan ini adalah menolak
was-was tersebut, meminta perlindungan kepada Alloh, dan tidak berbicara
tentang apa yang muncul dari was-was tersebut.
Jenis keraguan yang selanjutnya :
2. Keraguan yang menetap di dalam hati, dan
bukan sekedar bisikan jiwa. Bahkan keraguan itu memunculkan perkataan
atau perbuatan yang merupakan wujud kekufuran kepada Alloh ta’ala. Maka orang yang memiliki keraguan seperti ini kafir kepada Alloh ta’ala.
Mengenai keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bisa dipastikan dengan empat argumen yang tak terbantahkan, yakni : fithrah, logika, panca indera, dan syariat.
Di sini kita mengakhirkan argumen syariat bukan karena tidak layak
untuk dikedepankan, tetapi untuk membantah orang-orang yang tidak
beriman dengan syariat sama sekali. Allohul Musta’an. Penjelasan ini
disebutkan oleh Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Syarh Al
Ushul Ats Tsalatsah.
1. Argumen Secara Fithrah
Setiap makhluk telah diberi fithrah untuk beriman dengan keberadaan
Penciptanya tanpa harus berpikir dan diajari terlebih dahulu. Alloh
Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan tentang hal ini di dalam
Al-Qur`an melalui firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ
ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’ Mereka
menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Alloh)’.” (Al-A’raf: 172)
Ayat di atas dengan gamblang menerangkan bahwa setiap manusia
secara fithrah mengimani keberadaan dan Rububiyyah Alloh Subhanahu wa
Ta’ala. Tak ada yang berpaling dari tuntutan fithrah ini melainkan
karena penyimpangan yang muncul di dalam jiwanya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah seorang anak melainkan dilahirkan di atas fithrah. Lalu
kedua orangtuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nashrani, atau
Majusi.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
2. Argumen Secara Logika
Seluruh makhluk yang berada di jagad raya ini pasti ada yang
menciptakan. Tidak mungkin mereka menciptakan diri mereka sendiri,
karena sesuatu yang awalnya tidak ada, tidak mungkin menciptakan dirinya
sendiri. Demikian pula, mereka tidak mungkin tercipta secara tiba-tiba
(ada dengan sendirinya) karena sesuatu yang baru tercipta, pasti ada
penciptanya. Bagaimana mungkin alam yang sedemikian teratur rapi dengan
segala rangkaian yang sangat sesuai dan keterkaitan yang sangat erat
antara sebab dengan akibat serta antara sebagian wujud dengan yang
lainnya, dinyatakan tercipta secara tiba-tiba?
Sesuatu yang muncul secara tiba-tiba yang pada asalnya tercipta tanpa suatu keteraturan tidak mungkin dalam eksistensi dan perkembangannya akan terjadi keteraturan yang sedemikian rapi. Oleh sebab itu, Alloh Yang Maha Agung mengungkap argumen yang logis ini di dalam Al-Qur`an untuk menggugah hati kaum musyrikin yang masih tertutup dari keimanan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sesuatu yang muncul secara tiba-tiba yang pada asalnya tercipta tanpa suatu keteraturan tidak mungkin dalam eksistensi dan perkembangannya akan terjadi keteraturan yang sedemikian rapi. Oleh sebab itu, Alloh Yang Maha Agung mengungkap argumen yang logis ini di dalam Al-Qur`an untuk menggugah hati kaum musyrikin yang masih tertutup dari keimanan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ
الْخَالِقُوْنَ. أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بَل لاَ
يُوْقِنُوْنَ. أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ
الْمُصَيْطِرُوْنَ
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun (yakni secara
tiba-tiba) ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?
Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka
ada perbendaharaan Rabbmu atau mereka pula yang berkuasa?” (At-Thur:
35-37)
Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu ketika masih dalam keadaan
musyrik, pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat-ayat ini. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَادَ قَلْبِي أَنْ يَطِيْرَ، وَذَلِكَ أَوَّلُ مَا وَقَرَ اْلإِيْمَانُ فِي قَلْبِي
“Hampir saja hatiku terbang, itulah saat pertama keimanan menancap di dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari)
3. Argumen Secara Panca Indera
Bahwasanya mengetahui keberadaan Alloh melalui panca indera bisa dilihat dari dua sisi:
- Pengabulan doa dan pertolongan kepada orang-orang yang tertimpa kesusahan.
وَنُوْحًا إِذْ نَادَى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيْمِ
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia
berdoa, dan kami mengabulkan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta
keluarganya dari bencana yang besar.” (Al-Anbiya`:76)
إِذْ تَسْتَغِيْثُوْنَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ مُرْدِفِيْنَ
“(Ingatlah), ketika kalian memohon pertolongan
kepada Rabb kalian, lalu Dia mengabulkannya bagi kalian: ‘Sesungguhnya
Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kalian dengan seribu malaikat
yang datang berturut-turut’.” (Al-Anfal: 9)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Seorang Arab dusun
datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at
ketika beliau tengah berkhutbah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, segenap
harta telah binasa dan para keluarga telah lapar, maka berdoalah engkau
kepada Alloh untuk kami.’ Beliau pun mengangkat kedua tangannya seraya
berdoa. Maka menggumpallah awan-awan laksana gunung-gunung. Tidaklah
beliau turun dari mimbarnya, sampai aku melihat hujan menetes di atas
jenggotnya. Kemudian pada Jum’at yang kedua, orang Arab dusun itu –atau
mungkin juga yang selainnya– kembali berdiri. Dia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, bangunan-bangunan telah hancur dan segenap harta telah
tenggelam, maka berdoalah engkau kepada Allah untuk kami.’ Beliau pun
kembali mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, ‘Ya Allah,
(alihkanlah hujan itu) di sekitar kami dan bukan pada kami.’ Tidaklah
beliau menunjuk kepada satu arah melainkan telah terbuka.” (HR.
Al-Bukhari).
Pengabulan doa bagi orang-orang yang meminta kepada Alloh Subhanahu
wa Ta’ala senantiasa menjadi sebuah perkara yang disaksikan sampai masa
kita ini, selama mereka menyandarkan diri kepada Alloh Subhanahu wa
Ta’ala dengan sebenar-benarnya dan memenuhi syarat-syarat pengabulan
doa.
- Mukjizat-mukjizat para Nabi
Manusia mendengar dan menyaksikan bagaimana Alloh Subhanahu wa
Ta’ala membela dan menolong para Nabi dan Rasul-Nya dengan berbagai
mukzijat di luar batas kemampuan manusia biasa. Semua itu adalah bukti
konkret yang mengungkap keberadaan Dzat yang telah mengutus mereka
dengan kebenaran. Di sana terdapat beberapa contoh nyata dan dikisahkan
di dalam Al-Qur`an, di antaranya:
Yang pertama: Mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam ketika beliau
diperintahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk memukulkan tongkatnya
ke laut. Maka lautan terbelah menjadi dua belas jalan yang kering.
Sementara air berada di antara jalan-jalan itu seperti gunung yang
besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوْسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ
“Lalu kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan
itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan
adalah seperti gunung yang besar.” (As-Syu’ara`: 63)
Yang kedua: Mukjizat Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ketika beliau
melakukan beberapa perkara yang benar-benar di luar batas kemampuan
manusia biasa. Di antaranya, beliau bisa menghidupkan kembali orang yang
sudah meninggal dan mengeluarkannya dari kubur mereka dengan seizin
Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَرَسُوْلاً إِلَى بَنِي إِسْرَائِيْلَ أَنِّي قَدْ
جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّيْنِ
كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًا بِإِذْنِ
اللهِ وَأُبْرِئُ اْلأَكْمَهَ وَاْلأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ
اللهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ فِي
بُيُوْتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (lalu
berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku telah datang kepada kalian
dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Rabb kalian, yaitu aku
membuat untuk kalian dari tanah berbentuk burung; kemudian aku
meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Alloh. Dan aku
menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang
berpenyakit sopak. Dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Alloh.
Dan aku kabarkan kepada kalian apa yang kalian makan dan apa yang kalian
simpan di rumah kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
sesuatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagi kalian, jika kalian
sungguh-sungguh beriman’.” (Ali ‘Imran: 49)
إِذْ قَالَ اللهُ يَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ
اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوْحِ
الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَإِذْ عَلَّمْتُكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَاْلإِنْجِيْلَ وَإِذْ تَخْلُقُ
مِنَ الطِّيْنِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيْهَا
فَتَكُوْنُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ اْلأَكْمَهَ وَاْلأَبْرَصَ
بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي
إِسْرَائِيْلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِيْنَ
كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلاَّ سِحْرٌ مُبِيْنٌ
“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: Hai Isa putra
Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku
menguatkan kamu dengan Ruhul Qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia
di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu
Aku mengajarimu menulis, hikmah, Taurat dan Injil. Dan (ingatlah pula)
di waktu kamu menjadikan dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniupnya. Lalu bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu
mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan
(Ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka
membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara
mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.”
(Al-Ma`idah: 110)
Yang ketiga: Mukjizat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau diminta oleh orang-orang Quraisy untuk mendatangkan
sebuah tanda kebenaran kenabian dan kerasulannya. Maka beliau memberi
isyarat ke arah bulan yang kemudian terbelah menjadi dua, dan manusia
pun menyaksikannya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ. وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُوْلُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
“Telah dekat datangnya hari kiamat dan telah
terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu
tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: ‘(Ini adalah) sihir yang
terus menerus’.” (Al-Qamar: 1-2)
Demikianlah tanda-tanda kebesaran Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang
bisa ditangkap oleh panca indera sebagaimana tersebut di atas, yang
merupakan mukjizat-mukjizat yang dengannya Alloh Subhanahu wa Ta’ala
membela dan menolong para Nabi dan Rasul-Nya. Sekali lagi perlu
ditegaskan bahwa semua itu menunjukkan keberadaan Dzat Yang Maha
Pencipta atas seantero alam ini.
4. Argumen Secara Syariat
Seluruh kitab samawi telah berbicara tentang keberadaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Segala hukum yang termuat di dalamnya yang
mengandung kemaslahatan-kemaslahatan bagi para makhluk menunjukkan bahwa
kitab-kitab itu datang dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi
Mengetahui kebaikan-kebaikan bagi para hamba. Seluruh peristiwa yang
diberitakan di dalamnya dan dipersaksikan kebenarannya oleh realita
kehidupan manusia juga menunjukkan bahwa kitab-kitab itu datang dari
Rabb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa saja yang telah
dikabarkan-Nya. (2)
Adapun pertanyaan pemuda itu yang selanjutnya :
Kalau memang benar ada takdir, tunjukkan takdir itu pada saya!
Jawabannya : Kyai itu cukup mengatakan kepadanya,”Pertemuan
kita sekarang ini sudah cukup menunjukkan adanya takdir itu, karena
kita bertemu dengan takdir dari Alloh ta’ala.”
Pertanyaan pemuda itu yang selanjutnya :
Kalau syaithan diciptakan dari api, kenapa dimasukkan ke neraka
yang dibuat dari api? Tentu tidak menyakitkan buat syaithan sebab mereka
memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh
itu?
Jawaban :
Pertama, perkataan,”Apakah Tuhan tidak pernah berfikir
sejauh itu?” adalah perkataan yang lancang sekali dan tidak boleh
diucapkan. Pelakunya bisa jatuh ke dalam kekafiran karena ragu tentang
ilmu Alloh ta’ala. Alloh telah membantah ucapan seperti itu dengan firmanNya :
هَا أَنتُمْ هَٰؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُم بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Beginilah kalian, (sewajarnya) kalian ini bantah
membantah tentang hal yang kalian ketahui. Maka kenapa kalian bantah
membantah tentang hal yang tidak kalian ketahui? Alloh mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui.” (Ali ‘Imran : 66).
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan semacam itu yang berasal dari
orang yang lebih mengedepankan logikanya adalah dengan logika juga.
0 komentar:
Posting Komentar